Sebagaimana kita ketahui dalam disiplin ilmu lughat,
mayoritas Ulama Ahli Nahwu mengibarohkan fungsi مَنْ untuk للعاقل atau yang berakal أي تتعلق بالأشخاص أي بالناس maksudnya adalah untuk yang berkaitan dengan perseorangan.
Sedangkan ما sebaliknya, yaitu untuk sesuatu yang tidak
berakal. Kaedah ini tidak mutlak dan hanya bersifat mayoritas karena disebutkan
dalam Syarah Ibnu Aqil :
وأكثر ما
تستعمل ما في غير العاقل وقد تستعمل في العاقل
ومنه قوله: تعالى:
{فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ}
.
و"من"
بالعكس فأكثر ما تستعمل في العاقل وقد تستعمل في غيره.
Dalam masalah istilah, Ibnu Hisyam lebih memilih
menggunakan istilah للعالم, beliau berkata :
ينبغي أن
نقول: إنها للعالم؛ لأنها تأتي ويراد بها الرب عز وجل، والرب لا يقال عنه: عاقل،
كما في قوله تعالى: أَأَمِنتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ [الملك:16] أي: الله. فلا
تقول: مَنْ للعاقل في هذا المحل؛ لأن الله عز وجل لا يوصف بالعقل
“Penting
untuk diketahui bahwasanya
مَنْ digunakan untuk للعالم (yang mengetahui) karena مَنْ juga
digunakan untuk meredaksikan Tuhan, sedangkan Tuhan tidak bisa disebut عاقل “yang berakal” sebagaimana ayat :
أَأَمِنتُمْ
مَنْ فِي السَّمَاءِ [الملك:16]
yang mana مَنْ disini
adalah Allah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa مَنْ pada
konteks ini berfungsi untuk hal yang berakal. Karena Allah tidak disifati
dengan sifat tersebut.” Ibnu Hisyam lebih memilih istilah للعالم ketimbang
للعاقل, karena Allah disifati dengan Alim.
Dalam beberapa konteks, terkadang مَنْ bisa berarti ما dalam arti مَنْ keluar dari fungsi
asalnya dari yang berakal digunakan untuk yang tidak berakal. Sebagaimana ayat
:
وَاللَّهُ
خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي
عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ -النور/45
“Dan Allah telah
menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian mereka (hewan) itu ada
yang berjalan di atas perutnya dan sebagian mereka berjalan dengan dua kaki,
sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [Q.s.
an-Nuur (24): 45].
Maka,
مَنْ dalam hal ini
diperuntukkan untuk لغير
العالم/ لغير العاقل karena sudah menjadi maklum bahwa Bani Adam tidak ada satupun
yang berjalan di atas perutnya sebagaimana yang dimaksudkan pada Tafsir
Jalalain :
{وَاَللَّه خَلَقَ كُلّ دَابَّة} أَيْ حَيَوَان {مِنْ
مَاء} نُطْفَة {فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي
عَلَى بَطْنه} كَالْحَيَّاتِ وَالْهَوَامّ {وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ} كَالْإِنْسَانِ
وَالطَّيْر {وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي
عَلَى أَرْبَع} كالبهائم والأنعام
Bahwa “sesuatu yang
berjalan di atas perutnya” contohnya adalah ular/ ulat (hama), yang berjalan
dengan dua kaki contohnya adalah manusia dan burung, sedangkan yang berjalan
dengan empat kaki dicontohkannya kambing dan sapi. “Peralihan” fungsi makna
seperti ini menurut sebagian ulama masuk kategori gaya bahasa Musyakalah المشاكلة atau keserasian serta men-globalkan redaksi menggunakan lafadz مَن. Musyakalah sendiri dalam ilmu balaghah secara leksikal
kata tersebut bermakna saling membentuk. Salah satu makna terminologis
Musyakalah dikemukakan oleh Ahmad al-Hasyimi dalam kitabnya Jawahirul Balaghoh
sebagai berikut :
ﺍﻟﻤﺸﺎﻛﻠﺔ
ﻫﻲ ﺃﻥ ﻳﺬﻛﺮ ﺍﻟﺸﻴﺊ ﺑﻠﻔﻆ ﻏﻴﺮﻩ ﻟﻮﻗﻮﻋﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﺒﺘﻪ
“Menuturkan suatu
ungkapan menggunakan ungkapan lain, yang kedudukannya berfungsi sebagai
penyeimbang”
Contoh beberapa penggunaan مَنْ dan ما secara تغليب (global) ,
adalah ayat :
وَلِلَّهِ
مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ [آل عمران:109]
وَلِلَّهِ
يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ [الرعد:15]
وَلِلَّهِ
يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ [النحل:49]
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa مَنْ dan ما terkadang saling menempati posisi
masing-masing, dalam arti keluar dari asal fungsi atau تغليب (memenangkan antar fungsi makna). Maksudnya adalah تغليب العالم على غيره، وتغليب الأكثر على غيره yaitu memenangkan redaksi yang alim atas lainnya dan yang
lebih banyak atas lainnya. Simpelnya, redaksinya “diwakilkan” oleh yang hal
yang dominan atau dibulatkan. Ketika diredaksikan menggunakan ما maka yang dimaksudkan adalah mewakilkan مَنْ yang alim/
berakal kepada ما yang tidak alim/ tidak berakal atau
sebaliknya.
Ibnu
Hisyam menjelaskan dalam bab Taghlib bahwasanya memenangkan antara hal satu
kepada hal lainnya terkadang digunakan karena munasabah (kecocokan, berkaitan),
juga karena ikhtilath (ketercampuran) hal satu dengan hal lainnya. Sebagaimana
pen-globalan kata أبوين untuk الأب والأم seperti pada ayat :
وَلأبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ
“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan”
Lafadz أبوين pada
redaksi ini bukan berarti “dua ayah” melainkan dua orang (Ayah dan Ibu). Pada contoh
lainnya adalah penggunaan kata القَمران untuk
meringkas penyebutkan Bulan dan Matahari, atau kata المشرقَين untuk
penyebutan Masyriq (timur) dan Maghrib (barat).
Contoh lain peralihan fungsi مَنْ dan ما lainnya
ada pada ayat :
(فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ) [النساء: 3]
“Maka
nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”
Ayat di
atas menggunakan lafadz ما untuk
meredaksikan sesuatu yang berakal/ alim. Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi
di dalam kitab Al-Adlwa’ mengatakan :
(فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ) ولم يقل من طاب؛ لأنها هنا أريد بها الصفات لا الذوات أي: ما
طاب لكم من بكر أو ثيب أو ما طاب لكم لكونه حلالا
"Pada
ayat ini, tidak menggunakan مَنْ karena yang
dimaksudما di
sini adalah beberapa sifat bukan dzatnya”. Maksudnya adalah, secara umum wanita
dinikahi bukan hanya karena dzatiyahnya saja, tapi juga karena لأوصافها (beberapa
sifat) atau bahasa mudahnya “sisi lain” dari wanita seperti kecantikan,
kebaikan, kehalalan, kegadisan dsb. Karena dominasi الأوصاف atau “sisi lain” yang mengandung makna hal yang tidak berakal inilah
maka diredaksikan menggunakan lafadz yang sejatinya difungsikan untuk yang tidak
berakal.
Masih banyak contoh-contoh lainnya dimana hal ini
menegaskan betapa tingginya standar Bahasa yang ada pada Al-Quran. Al-Qur`an
Al-Karim merupakan Kitabullah paling mulia ditinjau dari segala sisi. Hal ini
sebagaimana penuturan Ibnu Katsir rahimahullah berikut ini.
أنزلَ
أشرف الكتب بأشرف اللغات، على أشرف الرسل، بسفارة أشرف الملائكة، وكان ذلك في أشرف
بقاع الأرض، وابتدئ إنزاله في أشرف شهور السنة وهو رمضان، فكمل من كل الوجوه
“Diturunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an) dengan
bahasa yang paling mulia, diajarkan kepada Rasul yang paling mulia, disampaikan
oleh malaikat yang paling mulia, diturunkan di tempat yang paling mulia di muka
bumi, diturunkan pula di bulan yang paling mulia sepanjang tahun, yaitu bulan
Ramadhan. Dengan demikian sempurnalah Kitab suci Al-Qur`an dari berbagai sisi”
(Tafsir Ibnu Katsir).
Wallahu A’lam.